Senin, 08 Desember 2008

mulai membangun SANGGAR REOT

Bermodalkan semangat dan dana saweran anggota sebesar 280 ribu rupiah, akhirnya sanggar yang telah di gagas sejak sebulan lalu mulai dijadikan prioritas kegiatan. dimulai dengan memburu ke tukang kayu bekas...

perburuan pun dimulai, mula-mula tim yang beranggotakan gua (syahid), bokir, kose, U be, iwak, mencari ke daerah kampung kandang, ragunan, tanya kepada seorang kake tua yang keliatan jelas tulang dan semua otot-ototnya, karena kebetulan saat itu si kakae ga pake baju, yang ternyata kake tua itu adalah penjul kayu bekas tersebut, sambil memilah milih kayu yang cocok untuk dijadikan tiang, seorang dari kami langsung bertanya harga kepada kake yang saat itu bukan hanya bertelanjang dada tapi juga bertelanjang kaki. bagai tersambar petir di siang hari (kekerenan ga sih bahasanya), semua kaget bukan kepalang sesaat sang kakek menjawab pertanyaan sekitar harga. 1 batang balok 100 rebu, sambil menahan batuk sang kake tiba2 membuka omongan. gileee ternyata mahal juga ya... akhirnya kami memtuskan untuk kaga beli kayu dari sang kake..

perburuan berlanjut, target berikutnya, tempat kayu bekas di bilangan jl. TB Simatupang, kali ini ga pake bingung yang jual pasti orang asal Madura. sesampai di sana kami langsung di sambut seorang wanita paruh baya, dugaan kami sama sekali kga meleset. pemiliknya emang orang madura...heheehhe

setelah basi-basi sono-sini gini-gitu..... akhirnya sampe ke titik pembicaraan untuk ngejelasin buat apa kayu2 yg kita beli nantinya. setelah si ibu tau kalo kayu yang kita beli bakal sanggar, akhirnya dia ngasih harga ke kita di bawah harga normal, 8 batang kayu di hargai Rp. 200.000 sembari ngeyakinin kalo ini harga termurah, "karena buat sanggar, ya udah saya kasih diskon, ini udah murah banget loh" penjelasan si ibu ke kami. ini kayu bagus, namanya kayu kamper tambahnya lagi, kami pun berembug dan akhirnya sepakat kita ambil kayu dengan harga yg di kasih si ibu.

Setelah kita membayar trus kita di kasih kayu (ternyata kayunya emang luamayan bagus, dan emang pilihan), bukan berarti tugas selesai. karena kita harus bawa nih kayu yang beratnya bukan maen... (berat be'eng bro) ke rumah yang luamayan jauh. akhirnya kayu yang kita beli berhasil di mendarat di tempat kita, tentunya tidak dengan cara yang mudah, karena kita berempat gua (syahid), bokir, emen, sama ube dengan 2 motor, jadi kita siasatin dengan membagi kayu mejadi 2 iket, iketan 1 di bawa ube sama emen, iketan satunya gua sama bokir....

akhirnya, grengggg, grengggg kita siap berangkat dengan kayu panjang dan berat di pundak, pertama kita2 sok PEDE, tapi apa yang terjasi saudara...saudara? belom genap 10 meter dari tempat kita star kita udah sama2 istirahat karena kualahan nahan beratnya tuh kayu. bahkan ube sama emen bela2in buka jaket trus dibuat tatakan kayu yg di letakin di pundak, biar ga sakit katanya, selaen itu buat ngilangim cape di bergantian bawa motornya.

kalo ube sama emen bawa motornya gantian beda sama gua dan bokir, dari awal bokir yang bawa motor gua yang bonceng tapi buat manggul kayu kita emang berdua, jadi kayunya gua letakin di pundak gua dan pundaknya bokir. (lumayanlah jadi ga berat2 amat).

tapi yang jelas, gua, bokir, ube, emen, sama2 mandi keringet, pundak pegel, pinggang kaku, cape dan yg pasti sama2 sering berenti istirahat dipinggir jalan untuk sekedar ngilangin cape, yang lucu antara motor 1 (gua sama bokir) dan motor 2 (Ube sama emen) selalu ga berbarengan saat istirhat, alhasil kita selalu berpasan kalo motor yang satu pas istirahat, justru di sini serunya meski dihinggapi rasa cape yg kebangetan kita tetep becanda dengan saling berteriak diberengi sedikit celaan saat berpasan, yang gua inget kita berpasan sampe 4 kali. hingga akhirnya kita sampe di tempat tujuan.... tapi perjuangan belom berakhir, masih sangat panjang untuk bisa mewujudkan apa yang kita cita-citakan higga sanggar berdiri..

terus berjuan kawan

STRATEGI PENDANAAN DAN PUBLIKASI UNTUK TAMAN BACAAN MASYARAKAT

DI KUTIP DARI http://www.rumahdunia.net



STRATEGI PENDANAAN DAN PUBLIKASI UNSTUCK TAMAN BACAAN MASYARAKAT
Oleh Firman Venayaksa

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil,
tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna
. -Albert Einstein-

I
Taman Bacaan Masyarakat, komunitas literasi, perpustakaan berbasis komunitas atau apapun namanya; kini telah berkembang begitu pesat di masyarakat Indonesia. Ini membuktikan bahwa di masa kekinian, masyarakat mulai peduli tentang pentingnya membaca sebagai bagian dari hidup. Sayangnya jargon-jaron yang dikembangkan oleh para pengelola TBM kadang tumpang tindih. Misalnya meningkatkan ìminat bacaî dan ìbudaya bacaî kadang dianggap sama. Sebelum masuk pada persoalan teknis dalam tulisan ini, saya ingin mencoba menjelaskan terlebih dahulu beberapa konsep yang berkait-kelindan dengan persoalan tersebut.

Sebetulnya, tahap awal menuju keterbacaan adalah ìminat bacaî (reading interest). Secara teoretis, jika di sebuah masyarakat sudah terjalin dengan baik di tahap ini, barulah berlanjut pada tahap selanjutnya yaitu ìkebiasaan membacaî (reading habit). Pada tahap ini, jika kebiasaan terus berlanjut secara turun temurun, inilah yang dinamakan ìbudaya bacaî karena proses budaya adalah proses berkelanjutan; bukan berhenti pada titik memperoklamirkan diri. Ia hadir dalam ruang lingkup yang sangat panjang dan perlu keapikan dari pelbagai lini untuk terus berupaya agar tali kebiasaan itu tidak putus di tengah jalan, sehingga pada tahap akhir akan terlihat apa yang disebut sebagai ìkemampuan membacaî (reading ability).

Di dalam perkuliahan Jurusan Bahasa, dijelaskan bahwa membaca adalah salah satu dari empat keterampilan berbahasa, dengan demikian membaca bukan hanya persoalan teoretis belaka. Membaca harus dihadirkan dalam tindakan, menjadikannya kebiasaan sehingga kemahiran adalah gol terpenting dalam membaca; sehingga untuk para pengelola TBM, ia seyogyanya menjadi pionir sekaligus penggerak agar segala macam yang berhubungan dengan keterbacaan menjadi pergulatan keseharian.

II
Di sebuah koran yang sempat saya baca, Ace Suryadi mengatakan bahwa tahun 1992 lalu, hanya ada sekitar 190 TBM di Indonesia. Tapi sejak tiga tahun terakhir, jumlah ini meningkat jauh lebih besar menjadi 5.400 TBM. Bahkan pada tahun 2009, direncanakan setiap kecamatan telah memiliki TBM. Bahkan desa-desa pun dibina agar memiliki taman bacaan (Republika, 11 Desember 2007). Hal ini pun membuat kaget, bingung sekaligus terpacu untuk diteliti oleh Stian Haklev, seorang mahasiswa dari Universitas Toronto-Canada. Kita bisa membayangkan bagaimana masyarakat betul-betul diberdayakan dan saling memberdayakan untuk mengelola sekaligus mengakses segala macam informasi melalui TBM. Sebuah strategi yang masuk diakal jika Indonesia ingin berbudaya baca (budaya literat) secara cepat dan tepat sasaran.

Hanya saja, dengan hadirnya 5.400 TBM --dan angka ini akan terus beranakpinakólantas bagaimana dengan para pengelola TBM yang biasanya menyandarkan dirinya pada uluran pemerintah dengan blockgrant itu? Persaingan jelas akan lebih dahsyat dan bisa jadi para pengelola TBM lebih serius mengikuti workshop proposal, dibandingkan bagaimana caranya mengelola TBM dengan baik. Saya tidak mengatakan bahwa menadahkan bantuan dari pemerintah adalah haram. Justru itu adalah hak pengelola sebagai bagian dari masyarakat. Toh blockgrant itupun uang rakyat juga! Masalahnya dengan kemungkinan yang saya paparkan di atas, ada baiknya jika para pengelola TBM mencari alternatif pendanaan lain sehingga jika blockgrant tidak cair lantas TBM tidak bubar.

III
Saya pernah membaca sebuah buku yang sangat inspiratif dengan judul Leaving Microsoft to Change The World yang ditulis oleh John Wood , seorang eksekutif muda yang rela keluar dari perusahaan raksasa Microsoft dan menjadi relawan, mendirikan 3600 perpustakaan di Asia. Buku ini dimulai dengan pengalamannya berkelana ke tengah-tengah pegunungan Himalaya dan bertemu dengan Pasuphati yang mengajaknya ke sebuah sekolah yang sudah tak layak jika dikatakan sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Lantas perkataan seorang guru Bahasa Inggris di sekolah itulah yang tiba-tiba mengubah cara pandang dirinya. ìKami mohon, Pak, saat Anda kembali nanti dengan buku-buku, Anda akan disambut gembira. Anak-anak, kepala mereka akan membentur langit-langit karena melompat-lompat kegirangan.î Walaupun dihadirkan dalam bahasa metafor, ternyata ungkapan tersebut membuat John Wood tergugah hatinya, kemudian memastikan dirinya untuk mengumpulkan buku-buku dan segera mengirimnya ke tempat tersebut.

Buku ini menghadirkan sosok humanis dari seorang John Wood. Padahal jika membaca masa lampaunya sebagai seorang eksekutif muda, agaknya kepedulian dirinya dengan gerakan literasi--apa lagi tergugah dengan keadaan perpustakaan sekolah di Himalayaóbegitu terkesan utopis.

Saya adalah mantan seorang spesialis dalam pasar internasional. Sehingga saya selalu mencoba berada di tujuh tempat sekaligus. Ini seperti permainan twister yang dimainkan pada skala global. Berada di Johannesburg pada hari Jumat dan di Taiwan pada hari Minggu siap melakukan presentasi, menghadiri pertemuan dan melakukan wawancara pers. (hal. 7)

Di sinilah letak kenikmatan membaca buku ini. Persoalan memutuskan sesuatu. Menjadi berguna dalam sudut pandang yang ganjil. Bahkan terkesan heroik. Sebagai seorang manusia biasa, John Wood tentu saja berkelahi dengan dirinya sebelum memutuskan sesuatu. Bekerja di sebuah perusahaan raksasa, dengan gaji yang sangat besar, ditambah dengan kepercayaan perusahaan untuk membiayai ke manapun dia pergi adalah pekerjaan yang sangat menggoda siapapun. Sehabis pergulatan batin itulah, seperti seorang rabi tua yang hendak bertobat dikarenakan menggunungnya dosa-dosa dia memilih jalan sunyi, melakukan sebuah pekerjaan baru yang sangat tidak populer sama sekali dan ia sangat sadar bahwa memutuskan memilih berarti (juga) meninggalkan sekelompok orang dan menemukan sekelompok asing.

alah satu hal yang dilakukannya adalah mendatangi perusahaan-perusahaan dan mempersentasikan mengenai apa yang dilakukannya. Tolakan dan penerimaan adalah hal biasa yang selalu terjadi. Maksud saya mengutip pengalaman John Wood adalah untuk memberikan motivasi bahwa menjadi seorang relawan itu harus total. Ada banyak sekali pengusaha yang mengerti bahwa setiap perusahaan harus mengeluarkan ìsedikit danaî untuk pertanggungjawaban terhadap sosialnya atau bahasa kerennya Corporate Social Responsibility (CSR) Karena ruang lingkupnya ìsosialî maka bantuan-bantuan pun sporadis dan bergantung dari kebijakan perusahaannya. Misalnya jika terjadi bencana alam; mereka langsung merespon dan menyesuaikan dengan isu tersebut. Disinilah pentingnya kita sebagai pengelola TBM meyakinkan kepada mereka bahwa apa yang kita lakukan (juga) bagian dari kerja sosial yang memiliki impact berkelanjutan.

Di Indonesia, perusahaan yang langsung ìmendonorkanî dananya untuk literasi memang belum terlalu banyak. Literasi biasanya disatukan dalam ìkoorî pendidikan. Salah satu perusahaan yang sering bergiat dalam mensupport TBM misalnya Mc Donalds, Exon Mobile, Sampoerna Foundation, XL care, RCTI Peduli, dll. Selain itu ada juga beberapa ìyayasan penjembatanî yang mencarikan dana kemudian langsung disalurkan kepada TBM atau komunitas literasi yang ìseriusî bekerja.

Tunas Cendikia
Tunas Cendikia adalah sebuah yayasan non profit yang digalang atas dasar solidaritas kebersamaan oleh Yudhis dkk. Hal yang menarik untuk disimak adalah salah satu pencarian dananya dilakukan dengan hal yang sangat pop (pop culture?) yaitu menggalang dana dengan menjual gelang merah seharga sepuluh ribu rupiah dan dijual di tempat-tempat strategis. Hingga akhir 2007, sudah terjual sekitar 71.123 buah! Biasanya Yayasan ini memberikan langsung kepada TBM atau Komunitas Literasi dalam bentuk barang seperti komputer dan printer, buku-buku, LCD dll. Selain bekerjasama dengan pelbagai perusahaan, mereka juga melakukan pendekatan dengan anak-anak muda. Sebuah group Band Nineball yang cukup terkemuka di Bandung dan baru saja merilis album terbarunya, mendonasikan 2,5 persen kepada Tunas Cendikia untuk dikelola dengan bijak.

Nurani Dunia
Yayasan Nurani Dunia merupakan lembaga nonprofit yang menyelenggarakan bantuan kemanusiaan kepada korban bencana alam dan sosial secara cepat, tepat dan terencana dengan berlandaskan prinsip nonpartisan, jujur, transparan, independen dan profesional agar kehidupan korban bencana dapat pulih kembali.

Begitulah redaksi awal yang akan Anda temukan ketika mengunjungi laman www.nuranidunia.org. Yayasan ini diawali oleh Dr. Imam B. Prasodjo yang sangat concern melihat pranata sosial di Indonesia. Seperti halnya Tunas Cendikia, Nurani Dunia juga membidik TBM atau komunitas literasi yang biasanya bekerjasama dengan perusahaan, lokal, nasional maupun internasional. Salah satu kegiatan yang sedang dilakukan yayasan ini adalah bekerjasama dengan XL Care ìmemberikanî perpustakaan keliling (mobil bajaj) beserta sepuluh juta rupiah dalam bentuk buku dan dana perawatan selama satu tahun. Hal ini adalah upaya berkelanjutan yang diinisiasikan dengan penggiat literasi agar bisa menjangkau tempat-tempat yang lebih jauh lagi dari tempat TBM yang ada.

IV Saya hanya mengenalkan dua contoh di atas sebagai sebuah pengenalan bahwa sebetulnya banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendanai TBM yang kita kelola. Pendanaan adalah hal yang sangat penting agar TBM bisa berjalan dengan baik. Namun bukan berarti jika tidak ada dana lantas tak ada kegiatan.

Sekarang, bagaimana caranya agar kita dikenal oleh perusahaan-perusahaan atau seperti yayasan di atas yang akan mengalirkan dananya untuk TBM? Selain masalah kepercayaan, kita juga harus bisa mempublikasikan TBM yang kita kelola. Untuk menunggu mereka datang ke tempat kita (apalagi sebagian besar TBM berada di daerah-daerah yang sulit diakses) kita harus bisa mempublikasikan TBM dengan efektif. Membuat sebuah liflet sederhana, difotokopi lalu disebarkan di tiang-tiang listrik memang yang harus kita lakukan agar informasi bisa diketahui masyarakat sekitar. Namun jangkauannya jelas sangat terbatas. Hal yang praktis untuk mempublikasikannya adalah berdekatan sekaligus bersinergi dengan wartawan/ media massa karena selain mereka memiliki jaringan yang luas, mereka juga bisa memfasilitasi pemberitaan. Karena pemberitaan harus memiliki value, maka kita pada akhirnya dituntut untuk membuat kegiatan yang unik tanpa mengesampingkan esensi dari TBM itu sendiri; misalnya lomba baca puisi untuk tukang becak; kenapa tidak?

Hal selanjutnya yang bisa kita pakai adalah dengan memanfaatkan media internet. Sekarang ini banyak sekali blog gratisan yang bisa diakses dengan cepat, mudah dan murah. Ketika saya menulis tulisan ini; beberapa TBM sudah memanfaatkannya, walaupun tak terlalu banyak. Dengan memanfaatkan internet dan mempublikasikan TBM yang kita kelola, akan ada komunikasi dengan ìdunia luarî sehingga apa yang kita lakukan bisa diakses oleh orang banyak. Jika kita pintar mengelolanya, bukan tidak mungkin akan banyak perusahaan atau yayasan yang ingin bekerjasama dengan Anda. Hal inipun dilakukan oleh John Wood dengan membuat www.roamtoread.org yang ternyata sangat efektif dalam penggalangan dana dan publisitas.

V
Para pengelola Taman Bacaan Masyarakat adalah orang-orang terpilih yang hendak mendedikasikan dirinya untuk kebaikan Indonesia ke depan. Berbahagialah Anda karena sudah ditakdirkan menjadi segelintir pahlawan litreasi dari sekian juta manusia yang tak mengerti harus berbuat apa. Tetap Semangat!

Tanah Air, 2008

Ketua 1 Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat, dosen FKIP Untirta dan Presiden Rumah Dunia.